MAKALAH
AGAMA
DAN KESEHATAN MENTAL
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas Psikologi Agama
Disusun
oleh: Kelas III/B
Kelompok
8
Anggota:
Iin
Hanifah 1210 600 042
Ilham
Siddiq 1210 600 047
Mega
Selvia 1210 600 054
Nela
Anggraeni 1210 600 062
Nurina
Fauziah 1210 600 069
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hubungan
manusia dengan agama tampaknya merupakan hubungan yang bersifat kodrati. Agama
itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk
ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur. Agama pun sudah
dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya
dengan gejala-gejala psikologi.
Agama
tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran
manusia terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang
disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun, untuk
menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya
sulit dilakukan. Manusia ternyata mempunyai unsur batin yang mendorongnya untuk
tunduk kepada Dzat yang gaib.
Manusia,
dalam hal ini kesehatannya memiliki hubungan dengan keagamaan, terutama
berkaitan dengan kesehatan mental. Kesehatan mental (mental hygiene)
adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan
serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Kecenderungan
hubungan agama dan kesehatan mental telah banyak ditelusuri dari zaman kuno
yang masih menganggap suatu penyak[t sebagai intervensi makhluk gaib, hingga
zaman modern yang menggunakan alat medis dalam mendiagnosa adanya suatu
penyakit. Penyakit dan kesehatan secara fisik dapat mempengaruhi gangguan
mental dan kesehatan mental. Begitu pula adanya indikasi pengaruh antara agama dan
kesehatan mental yang bisa menjadi topik yang menunjang kemampuan manusia dalam
menjalani kehidupannya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini, diantaranya:
1. Apa
pengertian agama?
2. Apa
pengertian kesehatan mental?
3. Apa
saja aliran dari kesehatan mental?
4. Apa
saja orientasi dan indikator dari kesehatan mental?
5. Apa
pengertian keabnormalan mental?
6. Bagaimana
pengaruh agama terhadap kesehatan mental?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan
makalah ini, diantaranya:
1. Mengetahui
pengertian agama
2. Mengetahui
pengertian kesehatan mental
3. Mengetahui
beberapa aliran dari kesehatan mental
4. Mengetahui
orientasi dan indikator dari kesehatan mental
5. Mengetahui
keabnormalan mental
6. Memahami
pengaruh agama terhadap kesehatan mental
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Agama
Agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang
terdiri dari dua akar suku kata yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama “ yang
berarti kacau sehingga artinya tidak kacau. Hal itu
mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur
kehidupan manusia agar tidak kacau. Dalam bahasa Indonesia agama juga dikenal
dengan kata addin dari bahasa arab yang artinya hukum, kata ini juga
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum,
yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang dan
membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran
agama.
Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang apabila tidak dijalankan
oleh seseorang akan menjadi hutang baginya, dan paham mengenai kewajiban dan
kepatuhan ini membawa pula pada paham balasan yang baik dari Tuhan pada yang
menjalankan kewajiban dan yang patuh dan bagi yang tidak menjalankan kewajiban
dan tidak patuh akan mendapatkan balasan yang tidak baik.
Agama dalam bahasa
inggris disebut dengan
‘religion’ berasal dari bahasa latin ‘religare’ yang berarti ‘mengikat’. Kata ini
diserap dalam bahasa inggris pada abad ke-11. Agama seringkali diterjemahkan
sebagai sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan (ritual) ataupun
penyerahan diri kepada suatu kekuatan supra-realitas (tuhan).
Para
filusuf, sosiolog dan psikolog merumuskan agama menurut caranya masing-masing.
Menurut sebagian filusuf, religion adalah superstitious structure of
incoherent metaphysical nation. Para sosiolog menyebut religion sebagai collective
expression of human values. Sedangkan para psikolog mendefinisikan agama
sebagai mystical complex surrounding a projected superego.
Banyak
sekali definisi dari agama yang telah diajukan, namun salah satu pendekatan
yang paling komprehensif dalam menjelaskan agama adalah pendekatan yang
menyatakan bahwa agama mencakup:
a.
Doktrin
(ajaran-ajaran tentang keimanan);
b.
Mitos
(narasi historis yang bersifat sakral);
c.
Etika
(kode-kode moral yang bersandar pada ajaran Tuhan);
d.
Praktik
peribadatan atau ritual
(bentuk penyerahan diri terhadap kekuatan adikodrati);
e.
Pengalaman
keagamaan, mistik, spiritual;
f.
Institusi
sosial.
William James menjelaskan bahwa terdapat dua aspek dari agama
yakni institusional dan personal. Sisi institusional dari agama mencakup
peribadatan, teologi, praktik perayaan, organisasi eklesiastikal. Sementara
aspek personal dari agama merefleksikan disposisi internal dalam diri individu
pemeluk agama tersebut. William James percaya bahwa agama adalah sebentuk perasaan,
perilaku dan pengalaman individu dalam kesendiriannya sebagai penanda keterhubungannya dengan sesuatu yang
bersifat suci (tuhan).
Dalam
penelitian yang dilakukan seorang pemeluk agama, Sigmund Freud menyimpulkan bahwa agama ditumbuhkan dari pengalaman perasaan
bersalah seorang anak ketika ia mencoba untuk menggantikan sosok ayahnya. Dalam
karyanya yang berjudul The future of illusion, Freud manyatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak
bahagia dan mencoba untuk lari dari ketidakbahagiaan ini dengan melakukan
ritual religious. Dengan demikian,
segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari
dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman.
Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya (Djamaluddin
Ancok, 1994: 71).
Tokoh
psikolog lainnya seperti Carl Gustav Jung mengemukakan bahwa agama berfungsi
dalam menyediakan sesuatu yang tidak didapatkan manusia dari dunia eksternal
atau lingkungannya. Penyakit kejiwaan seperti neurosis misalnya adalah sebuah
kondisi dimana seseorang bertarung dengan dirinya sendiri. Ia pun memandang
bahwa persoalan ini pada dasarnya bisa dituntaskan dengan menginternalisasikan
nilai-nilai yang didapatkan dari agama.
Sedangkan Harun Nasution mendefinisikan agama adalah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus
dipatuhi. Pengakuan terhadap adanya hubungan ghaib yang
menguasai manusia. mengikatkan
diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia dan yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia. Kepercayaan kepada sesuatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan ghaib pengakuan terhadap adanya kewajiban–kewajiban yang diyakini bersumber pada sesuatu
kekuatan ghaib. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia ajaran–ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Bertitik tolak dari kata-kata tersebut intisarinya
adalah agama adalah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia yang
berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan
ghaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh
yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Jadi agama adalah
pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan sesuatu yang ghaib yang
menguasai manusia, yang dengan karenanya manusia meyakini harus mematuhi kewajiban–kewajiban
sehingga hal itu mempengaruhi pada tingkah atau perbuatan-perbuatan manusia
sehari-hari.
2.2
Pengertian Kesehatan Mental
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental
hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata
mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin
yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat dikatakan mental hygiene berarti
mental yang sehat atau kesehatan mental. Kesehatan mental
(mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip,
peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan
rohani, dan orang-orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohani
atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram (M.Buchori,
1982:5).
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari
keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian
diri terhadap lingkungan sosial) (Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003).
Mustafa Fahmi sebagaimana dikutip Muhammad Mahmud
menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental:
Pertama, pola negatif (salabiy) bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari gejala neorosis (al-amradh al- ashabiyah) dan psikologia
(al-amradh al-dzibaniyah ). Kedua, pola positif (ijabiy) bahwa kesehatan mental
adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap
lingkungan sosialnya.
Sedangkan Hanna Djumhana
Bastaman menyebutkan ada empat pola yang ada dalam kesehatan mental, yaitu:
·
pola simtomatis
adalah pola yang berkaitan dengan gejala (symptoms) dan keluhan (compliants)
gangguan atau penyakit nafsaniyah.
·
pola penyesuaian
diri adalah pola yang berkaitan dengan keaktifan seseorang dalam memenuhi tuntutan
lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhan pribadi tampa mengganggu hak-hak
orang lain sehingga disini
kesehatan mental berarti kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri secara
aktif terhadap lingkungan sosialnya.
·
pola
pengembangan diri adalah pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani,
seperti kreatifitas, kecerdasan, tanggung jawab dan sebagainya. Sehingga
kesehatan mental berarti kemampuan individu untuk memfusikan potensi-potensi manusiawinya
secara maksimal, sehingga ia memperoleh mamfaat bagi dirinya sendiri maupun
orng lain
·
pola agama
adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama. Jadi kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran
agama secara benar baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
Dari beberapa definisi kesehatan mental tersebut maka dapat kita pahami bahwa definisi kesehatan
mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri
antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna yaitu
bahagia di dunia dan di akhirat.
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab
terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri
dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto
Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki kesehatan
mental adalah memiliki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang
datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan
(Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena
faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada di lingkungannya, juga
intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga
berbeda.
Ciri-ciri kesehatan mental dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
1. Memiliki
sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2.
Aktualisasi diri.
3. Mampu
mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi psikis yang ada.
4. Mampu
berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri).
5. Memiliki
persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada.
6. Mampu
menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri.
2.3 Beberapa Aliran Tentang
Kesehatan Mental
Terdapat
beberapa pandangan tentang kesehatan mental dari sudut psikologi dan agama,
diantaranya:
1.
Aliran Psikoanalitik
Aliran ini dikenal dengan tokoh yang mempeloporinya
yaitu Sigmund Freud dengan pandangan bahwa manusia adalah produk evolusi yang
terjadi secara kebetulan dan merupakan makhluk biologis. Psikoanalisis
merupakan satu sistem dinamis dari psikologi yang mencari akar tingkah laku
manusia didalam dorongan dan konflik yang tidak disadari. Freud selanjutnya
memandang bahwa tingkah laku manusia itu terjadi karena interaksi antara tiga
alat dalam personaliti, yang disebut dengan id, ego, dan super ego.
2.
Aliran Behavioristik
Aliran ini berpendapat bahwa kesehatan
mental adalah kesanggupan seseorang untuk memperoleh kebiasaan yang sesuai dan
dinamik yang dapat menolongnya berintegrasi dengan lingkungan, dan menghadapi
suasana-suasana yang memperlukan pengambilan keputusan. Dengan kata lain orang
yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu ber-adjusment secara baik dan
dinamis dengan lingkungan dimana ia berada.
3.
Aliran Humanistik
Aliran ini berpendapat bahwa pengkajian
terhadap manusia harus didekati dari sudut kemanusiaannya. Manusia dilengkapi
dengan berbagai potensi yang bebas dipergunakan menurut kemauannya. Oleh karena
itu kesehatan mental, menurut aliran ini, adalah kesadaran manusia terhadap
potensi-potensi kebebasannya untuk mencapai apa yang ia kehendaki dengan cara
yang dipilihnya. Dengan kata lain, bahwa orang yang sehat mentalnya menurut
aliran ini adalah orang yang sabar akan yang dimilikinya, kemudian secara bebas
ia dapat menegmbangkan sesuai dengan kehendaknya.
4.
Aliran Psikologi Transpersonal
Aliran ini merupakan kelanjutan dari aliran
humanistik. Menurut Maslow pengalaman keagamaan adalah peak experience, plateu
dan fathers reaches of human nature, dalam arti kata psikologi belum sempurna
sebelum difokuskan kembali pada pandangan spiritual agama. Dalam hal ini
psikologi transpersonal berusaha menggabungkan tradisi psikologi dengan
tradisi-tradisi agama besar Timur.
5.
Pandangan Islam
Menurut pandangan Islam orang yang sehat
mentalnya ialah orang yang berperilaku, fikiran, dan perasaannya mencerminkan dan
sesuai dengan ajaran agama Islam. Ini berarti orang yang sehat mentalnya ialah
orang yang didalam dirinya terdapat keterpaduan antara perilaku, perasaan,
fikirannya, dan jiwa keberagamaannya. Dengan demikian, tampaknya sulit
diciptakan kondisi kesehatan mental dengan tanpa agama. Bahkan dalam hal ini
Malik B. Badri berdasarkan pengamatannya berpendapat, keyakinan seseorang
terhadap islam sangat berperan dalam memebebaskan jiwa dari gangguan dan
penyakit kejiwaan. Disinilah peran penting Islam dalam membina kesehatan
mental.
2.4
Orientasi dan Indikator Kesehatan Mental
Kesehatan
mental memiliki beberapa orientasi dan indikator, diantaranya:
1.
Orientasi Kesehatan Mental
a.
Orientasi klasik, menurut aliran ini seseorang dinyatakan sehat mentalnya
apabila ia tidak mempunyai keluhan-keluhan tertentu seperti cemas, tegang, dan
sebagainya, dimana semua keluhan itu menimbulkan perasaan sakit.
b.
Orientasi pada aspek penyesuaian diri (adjusment), menurut aliran ini seseorang
dinyatakan sehat apabila ia mampu menyesuaikan dirinya secara aktif, efektif
dan menyenangkan sesuai dengan tuntutan realitas sekitarnya sesuai dengan skala
ukuran yang berlaku dalam masyarakat dimana ia berada.
c.
Orientasi pada aspek pengembangan potensi, menurut aliran ini seseorang
dinyatakan sehat apabila ia mampu mengembangkan potensi-potensinya ditengah
masyarakat dimana ia tinggal.
d.
Orientasi pada aspek intra psikis atau agama, menurut aliran ini seseorang
dianggap sehat apabila ia mampu memilih apa yang dianggap baik dan menolak apa
yang dianggapnya buruk berdasarkan pedoman normatif sesuai dengan ajaran agama
yang dianutnya.
2.
Indikator Kesehatan Mental
Kesehatan mental dan kondisi
normalitas kejiwaan seseorang adalah kondisi kesejahteraan emosional kejiwaan
seseorang, pengertian ini berasumsikan bahwa pada prinsipnya manusia itu dalam
kondisi sehat. Atkinson menyebutkan ada enam indikator normalitas kejiwaan seseorang yaitu:
·
Persepsi realitas yang efisien, yaitu individu cukup realistik dalam menilai
kemampuannya dan dalam menginterpretasi terhadap dunia sekitarnya ia tidak
terus-menerus berpikir negatif
terhadap orang lain serta tidak berlebihan dalam memuja diri sendiri.
·
Mengenal diri
sendiri, yaitu individu memiliki kesadaran dalam motif dan perasaannya sendiri.
·
Kemampuan untuk
mengendalikan perilaku secara sadar.
·
Harga diri dan
penerimaan yaitu penyesuaian diri sangat ditentukan oleh penilaian terhadp
harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang sekitarnya, ia merasa nyaman bersama orang lain dan mampu beradaptasi
dan mereaksi secara spontan dalam segala situasi sosial.
·
Kemampuan untuk
membentuk ikatan kasih, individu yang
normal dapat membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain
dalam hal ini dia peka terhadap peasaan orang lain dan tidak menuntut yang
berlebihn pada orng lain.
·
Produktifitas,
individu yang baik adalah individu yang menyadari kemampuannya dan dapat
diarahkan pada aktifitas
produktif.
Sedangkan indikator kesehatan mental menurut Ahmad Farid yang menerapkan indikator kesehatan mental berdasarkan kepada agama adalah sebagai berikut:
·
Berfokus pada
ahirat.
·
Tiada
meninggalkan zikrullah
·
Selalu merindukan
untuk beribadah kepada Allah swt.
·
Tujuan hidupnya
hanya kepada Allah swt.
·
Khusyuk dan menegakkan solat.
·
Menghargai waktu
dan tidak bahil harta.
·
Tidak berputus
asa.
·
Mengutamakan
kualitas perbuatan.
Zakiah Daradjat menetapkan indikator
kesehatan mental dengan memasukkan unsur keimanan dan ketaqwaan. Menurutnya
indikator kesehatan mental adalah sebagai berikut:
1.
Terbebas dari gangguan penyakit jiwa.
2.
Terwujudnya keserasian antara unsur-unsur kejiwaan.
3.
Mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri secara fleksibel dan menciptakan
hubungan yang bermanfaat dan menyenangkan antar individu.
4.
Mempunyai kemampuan dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkannya
untuk dirinya dan orang lain.
5.
Beriman dan bertaqwa kepada Allah dan selalu berupaya merealisasikan tuntutan
agama dalam kehidupan sehari-hari.
Hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam
sesudah al-Qur’an banyak pula menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan
kesehatan mental. Hadits yang berhubungan dengan kesehatan mental adakalanya
yang berkaitan dengan indikator kesehatan mental dan adakalanya yang berkaitan
dengan psikoterapi, dan yang berkaitan dengan kesehatan mental. Yang berkaitan
dengan indikator kesehatan mental, diantaranya:
1. Rasa
aman.
2. Qanaah
dan ridha menerima apa yang telah ditentukan Allah SWT kepadanya.
3. Syukur
dan sabar.
4. Rasa
tanggung jawab.
2.5
Keabnormalan Mental
Menurut Zakiah Daradjat, keabnormalan
mental adalah kumpulan dari keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan
dengan fisik maupun dengan psikis. Kebanormalan dapat dibagi atas dua bagian,
yaitu:
(1) gangguan mental (jiwa) (neurose)
(2) sakit mental (jiwa) (psychose)
Secara umum perbedaan neurose dan
psychose dapat dilihat pada perasaan, fikiran, perilaku, dan personalitas
penderita. Penderita neurose masih mampu merasakan kesukaran yang dihadapi
sehingga perilaku dan kepribadiannya belum memperlihatkan kelainan yang serius,
ia masih berada dalam kehidupan realitas. Sedangkan penderita psychose karena
yang terkena pikirannya, kepribadiannya tampak tidak padu lagi, karena itulah
dia sudah tidak mampu hidup dalam dunia nyata. Oleh karena itu gejala-gejala
gangguan dan penyakit mental dapat dilihat dari perasaan, fikiran, tingkah
laku, dan kesehatan badan seseorang.
Dalam perspektif Islam sehat atau
tidaknya mental seseorang berpijak pada aspek spiritualitas keagamaan. Seberapa
jauh keimanan seseorang yang tercermin dalam kehidupan keberagamaan dalam
kesehariannya menjadi titik tolak penting dalam mentukan sehat atau tidaknya
mental seseorang. Al Ghazali memandang bahwa kebnormalan mental identik dengan
akhlak yang buruk, sedangkan akhlak yang buruk dinyatakan sebagai racun yang
berbisa yang dapat membunuh, atau kotoran yang bisa menjauhkan seseorang dari
Allah SWT. Disamping itu akhlak yang buruk juga termasuk kedalam langkah setan
yang bisa menjerumuskan manusia masuk dalam perangkapnya.
Gangguan mental dalam Islam berkaitan
dengan penyimpangan-penyimpangan sikap batin. Inilah yang menjadi dasar dan
awal dari semua penderitaan batin. Gejala-gejala gangguan mental dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a.
Hati yang menyimpang dari keikhlasan dan ketundukan kepada Allah sehingga
menjadi lupa terhadap posisinya sebagai hamba Allah, wujudnya bisa dalam bentuk
ria, hasad, ujub, takabur, tamak, dan sebagainya.
b.
Perilaku yang terbiasa dengan pelanggaran ajaran agama disebabkan oleh
dominannya peran nafs al-ammarah dalam kehidupan. Pada kondisi ini ada dua
bentuk gangguan mental yaitu:
1.
Kekuatan-kekuatan fitrah untuk mendengarkan dan melihat kebenaran, serta
berpihak dan menyukai kebenaran tidak berfungsi lagi dengan baik. Hati orang
seperti ini tertutup dari seruan kebenaran.
2.
Memandang indah dan baik perbuatan-perbuatan dosa dan kesehatan sehingga tetap
merasa nikmat untuk melakukannya.
Selanjutnya Al Ghazali menyatakan bahwa
manusia yang mengalami gangguan mental berarti dia dalam keadaan sakit
(terganggu mentalnya) kecuali manusia yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk tidak
sakit mentalnya, seperti nabi dan rosul Allah. Orang yang terganggu mentalnya
memiliki sifat-sifat seperti nifak, memperturutkan hawa nafsu, berlebih-lebihan
dalam berbicara, marah, iri hati/dengki, cinta keduniaan, cinta harta, ria,
takabbur, sombong, dan ghurur. Al-akhlaq al-mazmummah inilah yang dipandang
sebagai gangguan mental karena akhlak tersebut dapat merusak ketenangan dan
ketentraman mental (jiwa).
Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh (A. Scott,
1961) meliputi beberapa hal :
1. Salah dalam
penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya
bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.
2. Ketidak bahagiaan secara
subyektif.
3. Kegagalan beradaptasi dengan
lingkungan.
4. Sebagian
penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit.
Namun ada sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut. Seseorang yang
gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami
gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena
adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat
konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur
ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui
potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.
2.6
Pengaruh Agama Terhadap Kesehatan Mental
Telah
banyak dilakukan penelitian yang berhubungan dengan agama dan kesehatan mental,
seperti yang dilakukan Bergin (1983) yang melakukan metanalis pada hasil-hasil penelitian
tentang agama dan kesehatan mental. Ia menyimpulkan bahwa jika religiusitas
dikorelasikan dengan ukuran kesehatan mental, dari 30 efek yang ditemukan,
hanya 7 orang atau 23% menunjukan hubungan negatif antara agama dan kesehatan mental. Secara singkat,
Koenig (1999) dalam bukunya The Healing Power of Faith, menyatakan bahwa
keluarga yang religious umumnya; punya keluarga yang lebih bahagia, punya gaya
hidup yang lebih sehat, dapat mengatasi stress, terlindung dari penyakit
kardiovaskular, punya sistem imun yang lebih kuat.
Sejumlah kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara
faktor keyakinan dan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para
ilmuwan beberapa abad yang lalu. misalnya, pernyataan Carel Gustav Jung
“diantara pasien saya yang setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab
penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”. Prof Dr.
Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir lebih jauh membahas hubungan antara agama dan
kesehatan mental melalui pendekatan teori biokimia. menurutnya, di dalam tubuh
manusia terdapat sembilan kelenjar hormon yang memproduksi
persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengaruh biokimia tertentu,
disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh kepada
eksistensi dan berbagai kegiatan tubuh.
Lebih jauh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir berkesimpulan
bahwa segala bentuk gejala emosi seperti bahagia, rasa dendam, rasa marah,
takut, berani, pengecut yang ada dalam diri manusia adalah akibat dari pengaruh
persenyawaan-persenyawaan kimia hormon, di samping persenyawaan lainnya. tetapi
dalam kenyataannya, kehidupan akal dan emosi manusia senantiasa berubah dari
waktu ke waktu. Oleh karena itu, selalu terjadi perubahan-perubahan kecil
produksi hormon-hormon yang merupakan unsur dasar dari keharmonisan kesadaran
dan rasa hati manusia, tepatnya perasaannya.
Jika seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang
hormon dan kimiawinya, maka ia akan selalu berada dalam keadaan aman. Perubahan
yang terjadi dalam kejiwaan itu disebut oleh Abd Al-Qadir sebagai spectrum
hidup. Penemuan Muhammad mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama dan ahli
biokimia ini, setidak-tidaknya memberi bukti akan adanya hubungan antara
keyakinan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui
bantuan agama telah banyak dipraktikkan orang. Dengan adanya gerakan Christian
Science, kenyataan sepeti itu diperkuat pengakuan ilmiah pula. Dalam
gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antara dokter,
psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu
jiwa agama. Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya
dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak
pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi.
Sikap pasrah yang itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang
sehingga muncul perasaan positif. Maka, dalam kondisi yang serupa itu manusia
berada dalam keadaan tenang dan normal, yang oleh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir,
berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia dan hormon tubuh. Dengan kata
lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai
dengan fitrah kajadiannya, sehat jasmani, dan ruhani.
Orang yang sehat mentalnya adalah
orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan
tentram. Ketika agama sebagai keyakinan dihubungkan pada kesehatan jiwa
terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan yang
maha tinggi. Tindak ibadah dalam sebuah ritual agama akan memberi rasa bahwa
hidup lebih bermakna dan manusia sebagai mahluk hidup yang memiliki kesatuan
jasmani dan rohani secara tak terpisah memerlukan pengakuan yang dapat
memuaskan keduanya.
Salah satu cabang ilmu jiwa, yang tergolong dalam psikologi
humanistika dikenal logoterapi (logos berate makna dan juga ruhani). Logoterapi
dilandasi falsafah hidup dan wawsan mengenai manusia yang mengakui adanya
dimensi sosial pada kehidupan manusia. kemudian, logoterapi menitikberatkan
pada pemahaman bahwa dambaan utama manusia yang asasi atau motif dasar manusia
adalah hasrat untuk hidup bermakna. Diantara hasrat itu terungkap dalam
keinginan manusia untuk memiliki kebebasan dalam menemukan makna hidup.
Kebebasan seperti itu dilakukannya antara lain melalui karya-karya yang
diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati (termasuk agama dan cinta
kasih) atau dalam sikap atas keadaan dan penderitaan yang tak mungkin
dielakkan. Adapun makna hidup adalah hal-hal yang memberikan nilai khusus bagi
seseorang, yang bila dipenuhi akan menjadikan hidupnya berharga dan akhirnya
akan menimbulkan penghayatan bahagia. Dalam logoterapi dikenal dua peringkat
makna hidup, yaitu makna hidup pribadi dan makna hidup paripurna.
Maka hidup paripurna bersifat mutlak dam universal,
serta dapat saja dijadikan landasan dan sumber makna hidup pribadi. Bagi mereka
yang tidak atau kurang penghayatannya terhadap agama, mungkin saja pandangan
falsafah atau ideologi tertentu dianggap memiliki nilai-nilai universal dan
paripurna. Sedangkan bagi penganut agama, maka Tuhan merupakan sumber nilai
Yang Maha Sempurna dengan agama sebagai perwujudan tuntutan-Nya. Di sinilah
barangkali letak peranan agama dalam membina kesehatan mental, berdasarkan
pendekatan logoterapi. Karena bagaimanapun, suatu ketika dalam kondisi yang
berada dalam keadaan tanpa daya, manusia akan kehilangan pegangan dan bersikap
pasrah. Dalam kondisi yang serupa ini ajaran agama paling tidak akan
membangkitkan makna dalam hidupnya. Makna hidup pribadi menurut logoterapi hanya
dapat dan harus ditemukan sendiri.
Kehilangan makna hidup menyebabkan
manusia mencari jalan sendiri-sendiri. Bertualang tanpa arah, terus mencari,
siapa dan apaun yang diduga mampu memberikan “obat” penawar kesepian batin
pasti akan dihampiri. Mulai dari berlindung dibawah sosok manusia mistik,
mencoba melabuhkan diri pada hidup yang penuh hura-hura, ataupun mengkonsumsi
minuman keras. Disini, batin manusia modern bagaikan terkarantina oleh produk
teknologi hasil karya mereka sendiri dan keadaan ini jelas sungguh ironis.
Sayangnya, agama dalam hal ini sering
dipandang hanya sebagai anutan. Dianggap sebagai sesuatu yang datang dari luar
dan asing. Padahal, potensinya sudah bersemi dalam batin sebagai fitrah
manusia. Potensi yang diterlantarkan oleh keangkuhan egoisme manusia. Jalinan
keharmonisan antara kebutuhan fisik dan mental spiritual terputus. Akibatnya
manusia kehilangan kemampuan untuk mengenal dirinya bahkan menemukan makna
hidupnya. Padahal Sang Maha Pencipta sudah
mewanti-wanti akan hal itu. Seuntai firman mengungkapkan hal itu: “Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.” (QS.
3:112). Di kala manusia melupakan Sang Maha Pencipta dan kehilangan God
View-nya, kehidupan menjadi hampa. Ketentraman batin tersaput, dan hidup akan
menjadi tak bermakna. “Ingatlah, hanya
dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. 13:28).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Agama adalah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan sesuatu yang
ghaib yang menguasai manusia, yang dengan karenanya manusia meyakini harus
mematuhi kewajiban–kewajiban sehingga hal itu mempengaruhi pada tingkah atau
perbuatan-perbuatan manusia sehari-hari.
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri
antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna yaitu
bahagia di dunia dan di akhirat.
Agama sebagai keyakinan dapat membantu penderita penyakit mental untuk
lebih cepat sembuh, dan sekaligus karena agama pula penyakit mental bisa
dicegah.
3.2
Saran
Manusia yang berpegang pada suatu agama hendaknya
mampu menjadikan keyakinannya bukan sekedar anutan akan tetapi mampu lebih
menghayati dalam berskap dan bertigkah laku sehari-hari sehingga dapat menjadi
tuntunan, arah yang baik pada keberlangsungan hidup yang secara langsung dapat
menjaga kesehatan mental dan terhindar dari gangguan mental karena memegang
satu keyakinan yang kukuh, yakni agama.
Sumber:
Nasrudin,
Endin. 2009. Psikologi Agama.
Bandung: Qutub Production
Mujib,
Abdul & Mudzakir, Jusuf. 2001. Nuansa-Nuansa
Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Jalaludin.
2010. Psikologi Agama. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Jalaludin.
2003. Psikologi Agama “sebuah pengantar”.
Bandung : Mizan Media Utama
Ramayulis. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam mulia