Senin, 06 Agustus 2012

Psikologi Perkembangan I


Pengantar Psikologi Perkembangan
Psikologi

Mata Kuliah Psikologi Perkembangan I
Sumber: Dosen Pengampu: Ibu Ening Ningsih, S.Psi, Psi -UIN SGD Bandung

1.    Pengertian dan Ruang Lingkup
   Berasal dari 2 kata yaitu psikologi dan perkembangan. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang aktivitas atau tingkah laku individu dalam hubungannya dengan alam sekitarnya (Woodworth & Marquis, 1957). Sementara Perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai pada waktu konsepsi dan berlanjut sepanjang siklus hidup. Sebagian besar perkembangan mencakup pertumbuhan, walaupun ia juga mencakup penurunan (Santrock, 2003:23).
   Psikologi Perkembangan adalah cabang dari psikologi yang mempelajari semua perubahan dalam aspek fisik, psikis dan sosial yang terjadi sepanjang hidup (life span) dari konsepsi hingga kematian.
   Menurut Santrok (1995,1996) terdapat beberapa aspek perkembangan, diantaranya: Fisik-biologis, kognisi, moral, nilai agama, sosial, emosi, kepribadian.

2.    Tujuan, Tugas Psikolog Perkembangan
   Bagi seorang ahli Psikologi Perkembangan terdapat 6 tujuan pokok, diantaranya:
·         Menemukan perubahan-perubahan apakah yang terjadi pada usia yang umum dan khas dalam penampilan, perilaku, minat, dan tujuan dari masing-masing periode perkembangan
·         Menemukan kapan perubahan-perubahan ini terjadi
·         Menemukan sebab-sebabnya
·         Menemukan bagaimana perubahan itu mempengaruhi perilaku
·         Menemukan dapat-tidaknya perubahan-perubahan itu diramalkan
·         Menemukan apakah perubahan-perubahan itu bersifat individual atau universal (Hurlock, 1991)
   Sementara tugas psikolog, diantaranya:
·         Mengidentifikasi gejala perkembangan
·         Mendeskripsikan gejala perkembangan
·         Menjelaskan gejala perkembangan

3.    Latar Belakang Sejarah
   Pada awalnya spekulasi tentang perkembangan manusia menjadi bahasan para Filosof, antara lain:
·         Plato dalam bukunya Republic (380 SM)
-          Perbedaan individual mempunyai dasar genetis (bersifat innate)
-          Bakat atau benih tersebut dikembangkan melalui pengasuhan dan pendidikan
-          Anak merupakan miniatur orang dewasa & berbeda secara kuantitatif dari orang dewasa (?)
·         John Locke (Empirisme)
-          Pengalaman (nurture) merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan anak
-          Peranan alam (nature) berakhir saat kelahiran, menolak adanya kemampuan bawaan
-          Bayi yang baru lahir ibarat kertas kosong (tabula rasa)
-          Anak berbeda secara kuantitatif dengan orang dewasa
·         JJ. Rousseau (Nativisme)
-          Menolak pandangan bahwa bayi adalah makhluk yang pasif & menolak anggapan bahwa anak merupakan orang dewasa yang tidak lengkap & memperoleh pengetahuan melalui cara berpikir orang dewasa.
-          Sejak lahir anak makhluk yang aktif, suka bereksplorasi.
-          Pengetahuan dibentuk oleh dirinya sendiri, caranya sendiri melalui interaksinya dengan lingkungan.
-          Anak digambarkan sebagai noble savage yang telah dibekali pengertian norma tentang yang benar dan yang salah/moral oleh alam.

4.    Prinsip-Prinsip Perkembangan
-          Perkembangan merupakan hasil interaksi antara maturasi & belajar
-          Terdapat pola-pola perkembangan
-          Ada perbedaan individual dalam perkembangan
-          Ada periode-periode dalam pola perkembangan
-          Ada tugas-tugas perkembangan pada setiap periode perkembangan

5.    Strategi Penelitian
·         Cross-Sectional=menggunakan beberapa kelompok usia berbeda dalam satu saat tertentu.
Contoh: 20 anak usia 3 tahun-20 anak usia 4 tahun-20 anak usia 5 tahun (Dilakukan satu kali observasi atau pencatatan terhadap anak yang berbeda usia).
Keuntungan:
-          Sampel banyak, biaya lebih murah, waktu singkat
-          Menggambarkan karakteristik pada usia yang berbeda
Kerugian:
-          Hanya menggambarkan tipe karakteristik, bukan proses
-          Tidak dapat memperhitungkan perbedaan individu
-          Tidak memperhitungkan perubahan kebudayaan/lingkungan yang dapat terjadi setiap saat.
·         Longitudinal=menggunakan kelompok anak yang sama pada satu jangka waktu tertentu
Contoh: 30 anak yang sama diteliti dalam jangka waktu dari 3 sampai 12 tahun.
Keuntungan:
-          Sampel sedikit
-          Dapat menganalisa proses perkembangan anak
-          Memberi kesempatan untuk menganalisa efek lingkungan terhadap perubahan TL&kepribadian
-          Dapat mempelajari peningkatan pertumbuhan.
Kerugian:
-          Biaya mahal, sampel susah dicari, waktu terlalu lama
-          Memerlukan banyak peneliti yang kemungkinan memilki pengalaman yang berbeda
-          Data terlalu luas sehingga kadang-kadang sukar dipegang.

Bagi yang ingin men-copy harap sertakan kredit/alamat blog ini. Semoga bermanfaat.
ienerz_^

Minggu, 05 Agustus 2012

Cas Cis Cus Conversation


Cas Cis Cus Conversation         
                                                                                            
Dialogue 1
A: Do you like watching movie?
B: Yes, I like. Do you like too?
A: Yes, me too. What’s the genre thet you like?
B: The colosal genre. What’s about you?
A: I like all genres, but especially I really like romantic story.
B: Wow, that sounds good. Why do you like romantic story?
A: Because, I hope that story becomes happen to me.
     Can you mentions some types of colosal movie?
B: Of course. Like The Lord of The Ring, The Guardian, Harry Potter, etc.
A: Wow, that’s fantastic movie. What about we go to cinema right now?
B: Ok, Let’s go!

Dialogue 2
A: Do you know TMB?
B: Trans Metro Bandung, right?
A: Alright. That haven’t been operation since two weeks ago
B: Really?. Why did it happen?
A: There had no tender that could operate it’s bus.
     So, now TMB going to the block till find a new tender .
B: Oh, so poor. I don’t believe that. How do you know?
A: I had heard it on radio. Seems like I have to change my transport to the campus.
B: Of course. I hadn’t  seen TMB so long, but I don’t know that news.
A: We can go together with your bike, right?. Haha.
B: Ok, no problem. That’s what a friend for!

Kamis, 02 Agustus 2012

Tugas Akhlak Terapan - Perbaikan Jiwa dan Budi

Perbaikan Jiwa dan Budi

     Setiap manusia tentunya pernah merasa tidak sehat secara batin, atau ada sesuatu yang dirasa menyakitkan pada jiwanya. Entah itu karena akhlaknya yang tak sejalan dengan ajaran atau mungkin karena perilaku orang lain. Manusia memiliki kualitas keimanan yang berbeda setiap harinya. Kadang dekat dengan Allah, kadang menjauh dari-Nya. Maka, perlunya perbaikan diri setiap hari dalam hidup kita. Salah satunya dengan memperbaiki akhlak. Namun itu tak kan berjalan jika tidak dibarengi perbaikan jiwa dan budi pekerti sebagai bagian dari terbentuknya akhlak yang baik.

     Allah SWT menyediakan segala yang kita butuhkan, termasuk cara memperbaiki diri kita, yaitu adanya bulan Ramadhan yang dapat membantu memperbaiki dan merawat jiwa dan budi kita menuju kesucian. Memperbaiki jiwa dan budi adalah menuju keseimbangan diri dari sifat dasar manusia yaitu, akal, hawa nafsu, dan amarah dan menyalurkannya pada perilaku yang baik.
Memperbaiki budi dapat dimulai dengan menghindarkan diri dari kebiasaan buruk dan bersungguh-sungguh membiasakan perilaku baik. Dalam Kitab Ihya, budi pekerti adalah suatu naluri asli dalam jiwa manusia, yang dapat melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan gampang dan mudah tanpa rekaan pikiran.

     Memperbaiki jiwa dan budi berarti memperbaiki diri secara keseluruhan dalam hal akhlak. Perbaikan diri hendaknya mengarah kepada kesuksesan dan kejayaan hidup sesuai dengan perspektif  Al Qur’an. Bila kita rujuk surah Al Hajj: 77, maka Allah memberikan gambaran bahwa kesuksesan itu dapat diraih melalui dua pilar kegiatan, yaitu dengan meningkatkan hubungan dengan Allah SWT melalui serangkaian ibadah yang berkualitas dan meningkatkan beramal baik, yang berorientasi pada kemaslahatan hidup dan kehidupan ummat.

      Dengan mengacu kepada kedua pilar itu arah kejayaan hidup menjadi sangat terang dan jelas, dan langkah-langkah perbaikan diri dapat dikembangkan berdasarkan kedua pilar tersebut dalam rangka mempersiapkan diri meraih kesuksesan dan kejayaan. Langkah-langkah perbaikan diri tersebut meliputi:

Perbaikan Ruhiyah, yang penting dilakukan untuk meningkatkan pengendalian diri (nafsu) menghadapi segala rangsangan kehidupan dunia yang menggiurkan maupun ancaman kehidupan yang mengguncangkan. Inti perbaikan ruhiyah adalah meningkatnya hubungan dengan Allah SWT melalui serangkaian kegiatan hati, lisan dan amal perbuatan. Dengan meningkatknya hubungan dengan Allah SWT, maka akan didapatkan banyak hal positif:
  1. Kemudahan mendapat ilmu (QS 2:282)
  2. Kemudahan menganalisis segala fenomena kehidupan (QS 8:29)
  3. Kemudahan menemukan pemecahan masalah (QS 65:4)
  4. Kemudahan mendapatkan jalan keluar (QS 65:2)
  5. Kemudahan mendapatkan fasilitas kehidupan  (QS 65:3)
  6. Keberkahan hidup (QS 7:172)
  7. Ketenteraman hati.  (QS 13)
Perbaikan ruhiyah dalam perspektif tazkiyatunnafs Imam Ghazali mengikuti urut-urutan sebagai berikut:
     Muroqobah : jiwa yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT sehingga ia selalu takut berbuat segala sesuatu yang menimbulkan kemarahanNya.
Muhasabah : jiwa yang selalu memperhitungkan dan mempertimbangkan segala amalannya dalam perspektif kehidupan akhirat
 Mu’aqobah : jiwa yang selalu menghukum dirinya apabila terlanjur khilaf berbuat Maksiyat (salah).
Mujahadah :  jiwa yang selalu sungguh-sungguh dalam beramal ibadah.

     Perbaikan Tsaqofiyah, yaitu peningkatan kualitas diri seseorang sejajar dengan keluasan wawasan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Rasulullah SAW mewajibkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu sepanjang hayat, belajar tiada henti.

     Akhlak erat kaitannya dengan jiwa dan budi pekerti. Dalam Islam, jiwa dan budi haruslah dirawat dan dijaga agar mampu mencerminkan akhlak yang baik dengan sesama muslim. Memperbaikinya dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh dapat mengantarkan pada kesempurnaan akhlak.
Amien.
(Bagi yang ingin men-copy ini untuk kebutuhan tugas kuliah, mohon disertakan kredit atau alamat blog ini)


Rabu, 01 Agustus 2012

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL-MAKALAH


MAKALAH
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Psikologi Agama
UIN new.jpg
Disusun oleh: Kelas III/B
Kelompok 8
Anggota:
Iin Hanifah 1210 600 042
Ilham Siddiq 1210 600 047
Mega Selvia 1210 600 054
Nela Anggraeni 1210 600 062
Nurina Fauziah 1210 600 069

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Hubungan manusia dengan agama tampaknya merupakan hubungan yang bersifat kodrati. Agama itu sendiri menyatu dalam fitrah penciptaan manusia. Terwujud dalam bentuk ketundukan, kerinduan ibadah, serta sifat-sifat luhur. Agama pun sudah dinilai sebagai bagian dari kehidupan pribadi manusia yang erat kaitannya dengan gejala-gejala psikologi.
Agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun, untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan. Manusia ternyata mempunyai unsur batin yang mendorongnya untuk tunduk kepada Dzat yang gaib.
Manusia, dalam hal ini kesehatannya memiliki hubungan dengan keagamaan, terutama berkaitan dengan kesehatan mental. Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Kecenderungan hubungan agama dan kesehatan mental telah banyak ditelusuri dari zaman kuno yang masih menganggap suatu penyak[t sebagai intervensi makhluk gaib, hingga zaman modern yang menggunakan alat medis dalam mendiagnosa adanya suatu penyakit. Penyakit dan kesehatan secara fisik dapat mempengaruhi gangguan mental dan kesehatan mental. Begitu pula adanya indikasi pengaruh antara agama dan kesehatan mental yang bisa menjadi topik yang menunjang kemampuan manusia dalam menjalani kehidupannya.

1.2  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, diantaranya:
1.      Apa pengertian agama?
2.      Apa pengertian kesehatan mental?
3.      Apa saja aliran dari kesehatan mental?
4.      Apa saja orientasi dan indikator dari kesehatan mental?
5.      Apa pengertian keabnormalan mental?
6.      Bagaimana pengaruh agama terhadap kesehatan mental?

1.3  Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini, diantaranya:
1.      Mengetahui pengertian agama
2.      Mengetahui pengertian kesehatan mental
3.      Mengetahui beberapa aliran dari kesehatan mental
4.      Mengetahui orientasi dan indikator dari kesehatan mental
5.      Mengetahui keabnormalan mental
6.      Memahami pengaruh agama terhadap kesehatan mental
 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Agama
Agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua akar suku kata yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama “ yang berarti kacau sehingga artinya tidak kacau. Hal itu mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Dalam bahasa Indonesia agama juga dikenal dengan kata addin dari bahasa arab yang artinya hukum, kata ini juga mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus dipatuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama.
Agama lebih lanjut lagi membawa kewajiban-kewajiban yang apabila tidak dijalankan oleh seseorang akan menjadi hutang baginya, dan paham mengenai kewajiban dan kepatuhan ini membawa pula pada paham balasan yang baik dari Tuhan pada yang menjalankan kewajiban dan yang patuh dan bagi yang tidak menjalankan kewajiban dan tidak patuh akan mendapatkan balasan yang tidak baik.
Agama dalam bahasa inggris disebut dengan ‘religion’ berasal dari bahasa latin ‘religare’ yang berarti ‘mengikat’. Kata ini diserap dalam bahasa inggris pada abad ke-11. Agama seringkali diterjemahkan sebagai sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan (ritual) ataupun penyerahan diri kepada suatu kekuatan supra-realitas (tuhan).
Para filusuf, sosiolog dan psikolog merumuskan agama menurut caranya masing-masing. Menurut sebagian filusuf, religion adalah superstitious structure of incoherent metaphysical nation. Para sosiolog menyebut religion sebagai collective expression of human values. Sedangkan para psikolog mendefinisikan agama sebagai mystical complex surrounding a projected superego.
Banyak sekali definisi dari agama yang telah diajukan, namun salah satu pendekatan yang paling komprehensif dalam menjelaskan agama adalah pendekatan yang menyatakan bahwa agama mencakup:
a.       Doktrin (ajaran-ajaran tentang keimanan);
b.      Mitos (narasi historis yang bersifat sakral);
c.       Etika (kode-kode moral yang bersandar pada ajaran Tuhan);
d.      Praktik peribadatan atau ritual (bentuk penyerahan diri terhadap kekuatan adikodrati);
e.       Pengalaman keagamaan, mistik, spiritual;
f.       Institusi sosial.
William James menjelaskan bahwa terdapat dua aspek dari agama yakni institusional dan personal. Sisi institusional dari agama mencakup peribadatan, teologi, praktik perayaan, organisasi eklesiastikal. Sementara aspek personal dari agama merefleksikan disposisi internal dalam diri individu pemeluk agama tersebut. William James percaya bahwa agama adalah sebentuk perasaan, perilaku dan pengalaman individu dalam kesendiriannya sebagai penanda keterhubungannya dengan sesuatu yang bersifat suci (tuhan).
Dalam penelitian yang dilakukan seorang pemeluk agama, Sigmund Freud menyimpulkan bahwa agama ditumbuhkan dari pengalaman perasaan bersalah seorang anak ketika ia mencoba untuk menggantikan sosok ayahnya. Dalam karyanya yang berjudul The future of illusion, Freud manyatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak bahagia dan mencoba untuk lari dari ketidakbahagiaan ini dengan melakukan ritual religious. Dengan demikian, segala bentuk perilaku keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk keperluan itu manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya (Djamaluddin Ancok, 1994: 71).
Tokoh psikolog lainnya seperti Carl Gustav Jung mengemukakan bahwa agama berfungsi dalam menyediakan sesuatu yang tidak didapatkan manusia dari dunia eksternal atau lingkungannya. Penyakit kejiwaan seperti neurosis misalnya adalah sebuah kondisi dimana seseorang bertarung dengan dirinya sendiri. Ia pun memandang bahwa persoalan ini pada dasarnya bisa dituntaskan dengan menginternalisasikan nilai-nilai yang didapatkan dari agama.
Sedangkan Harun Nasution mendefinisikan agama adalah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi. Pengakuan terhadap adanya hubungan ghaib yang menguasai manusia. mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. Kepercayaan kepada sesuatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan ghaib pengakuan terhadap adanya kewajiban–kewajiban yang diyakini bersumber pada sesuatu kekuatan ghaib. Pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia ajaran–ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul.
Bertitik tolak dari kata-kata tersebut intisarinya adalah agama adalah ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia yang berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia sebagai kekuatan ghaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Jadi agama adalah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan sesuatu yang ghaib yang menguasai manusia, yang dengan karenanya manusia meyakini harus mematuhi kewajiban–kewajiban sehingga hal itu mempengaruhi pada tingkah atau perbuatan-perbuatan manusia sehari-hari.
2.2 Pengertian Kesehatan Mental
Istilah Kesehatan Mental diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti Kejiwaan. Kata mental memilki persamaan makna dengan kata Psyhe yang berasal dari bahasa latin yang berarti Psikis atau Jiwa, jadi dapat dikatakan mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental. Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan rohani, dan orang-orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram (M.Buchori, 1982:5).
Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial) (Mujib dan Mudzakir, 2001, 2003).
Mustafa Fahmi sebagaimana dikutip Muhammad Mahmud menemukan dua pola dalam mendefinisikan kesehatan mental: Pertama, pola negatif (salabiy) bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala neorosis (al-amradh al- ashabiyah) dan psikologia (al-amradh al-dzibaniyah ). Kedua, pola positif (ijabiy) bahwa kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya.
Sedangkan Hanna Djumhana Bastaman menyebutkan ada empat pola yang ada dalam kesehatan mental, yaitu:
·         pola simtomatis adalah pola yang berkaitan dengan gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) gangguan atau penyakit nafsaniyah.
·         pola penyesuaian diri adalah pola yang berkaitan dengan keaktifan seseorang dalam memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhan pribadi tampa mengganggu hak-hak orang lain sehingga disini kesehatan mental berarti kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya.
·         pola pengembangan diri adalah pola yang berkaitan dengan kualitas khas insani, seperti kreatifitas, kecerdasan, tanggung jawab dan sebagainya. Sehingga kesehatan mental berarti kemampuan individu untuk memfusikan potensi-potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga ia memperoleh mamfaat bagi dirinya sendiri maupun orng lain
·         pola agama adalah pola yang berkaitan dengan ajaran agama. Jadi kesehatan mental adalah kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
Dari beberapa definisi kesehatan mental tersebut maka dapat kita pahami bahwa definisi kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna yaitu bahagia di dunia dan di akhirat.
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. (Noto Soedirdjo, 1980) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki kesehatan mental adalah memiliki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada di lingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.

Ciri-ciri kesehatan mental dikelompokkan kedalam enam kategori, yaitu:
1. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri.
2. Aktualisasi diri.
3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi psikis yang ada.
4. Mampu berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri).
5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas yang ada.
6. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri.

2.3 Beberapa Aliran Tentang Kesehatan Mental
Terdapat beberapa pandangan tentang kesehatan mental dari sudut psikologi dan agama, diantaranya:
1. Aliran Psikoanalitik
Aliran ini dikenal dengan tokoh yang mempeloporinya yaitu Sigmund Freud dengan pandangan bahwa manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan dan merupakan makhluk biologis. Psikoanalisis merupakan satu sistem dinamis dari psikologi yang mencari akar tingkah laku manusia didalam dorongan dan konflik yang tidak disadari. Freud selanjutnya memandang bahwa tingkah laku manusia itu terjadi karena interaksi antara tiga alat dalam personaliti, yang disebut dengan id, ego, dan super ego.
2. Aliran Behavioristik
Aliran ini berpendapat bahwa kesehatan mental adalah kesanggupan seseorang untuk memperoleh kebiasaan yang sesuai dan dinamik yang dapat menolongnya berintegrasi dengan lingkungan, dan menghadapi suasana-suasana yang memperlukan pengambilan keputusan. Dengan kata lain orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu ber-adjusment secara baik dan dinamis dengan lingkungan dimana ia berada.
3. Aliran Humanistik
Aliran ini berpendapat bahwa pengkajian terhadap manusia harus didekati dari sudut kemanusiaannya. Manusia dilengkapi dengan berbagai potensi yang bebas dipergunakan menurut kemauannya. Oleh karena itu kesehatan mental, menurut aliran ini, adalah kesadaran manusia terhadap potensi-potensi kebebasannya untuk mencapai apa yang ia kehendaki dengan cara yang dipilihnya. Dengan kata lain, bahwa orang yang sehat mentalnya menurut aliran ini adalah orang yang sabar akan yang dimilikinya, kemudian secara bebas ia dapat menegmbangkan sesuai dengan kehendaknya.
4. Aliran Psikologi Transpersonal
Aliran ini merupakan kelanjutan dari aliran humanistik. Menurut Maslow pengalaman keagamaan adalah peak experience, plateu dan fathers reaches of human nature, dalam arti kata psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali pada pandangan spiritual agama. Dalam hal ini psikologi transpersonal berusaha menggabungkan tradisi psikologi dengan tradisi-tradisi agama besar Timur.
5. Pandangan Islam
Menurut pandangan Islam orang yang sehat mentalnya ialah orang yang berperilaku, fikiran, dan perasaannya mencerminkan dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Ini berarti orang yang sehat mentalnya ialah orang yang didalam dirinya terdapat keterpaduan antara perilaku, perasaan, fikirannya, dan jiwa keberagamaannya. Dengan demikian, tampaknya sulit diciptakan kondisi kesehatan mental dengan tanpa agama. Bahkan dalam hal ini Malik B. Badri berdasarkan pengamatannya berpendapat, keyakinan seseorang terhadap islam sangat berperan dalam memebebaskan jiwa dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Disinilah peran penting Islam dalam membina kesehatan mental.

2.4 Orientasi dan Indikator Kesehatan Mental
Kesehatan mental memiliki beberapa orientasi dan indikator, diantaranya:
1. Orientasi Kesehatan Mental
a. Orientasi klasik, menurut aliran ini seseorang dinyatakan sehat mentalnya apabila ia tidak mempunyai keluhan-keluhan tertentu seperti cemas, tegang, dan sebagainya, dimana semua keluhan itu menimbulkan perasaan sakit.
b. Orientasi pada aspek penyesuaian diri (adjusment), menurut aliran ini seseorang dinyatakan sehat apabila ia mampu menyesuaikan dirinya secara aktif, efektif dan menyenangkan sesuai dengan tuntutan realitas sekitarnya sesuai dengan skala ukuran yang berlaku dalam masyarakat dimana ia berada.
c. Orientasi pada aspek pengembangan potensi, menurut aliran ini seseorang dinyatakan sehat apabila ia mampu mengembangkan potensi-potensinya ditengah masyarakat dimana ia tinggal.
d. Orientasi pada aspek intra psikis atau agama, menurut aliran ini seseorang dianggap sehat apabila ia mampu memilih apa yang dianggap baik dan menolak apa yang dianggapnya buruk berdasarkan pedoman normatif sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
2. Indikator Kesehatan Mental
Kesehatan mental dan kondisi normalitas kejiwaan seseorang adalah kondisi kesejahteraan emosional kejiwaan seseorang, pengertian ini berasumsikan bahwa pada prinsipnya manusia itu dalam kondisi sehat. Atkinson menyebutkan ada enam indikator normalitas kejiwaan seseorang yaitu:
·         Persepsi realitas yang efisien, yaitu individu cukup realistik dalam menilai kemampuannya dan dalam menginterpretasi terhadap dunia sekitarnya ia tidak terus-menerus berpikir negatif terhadap orang lain serta tidak berlebihan dalam memuja diri sendiri.
·         Mengenal diri sendiri, yaitu individu memiliki kesadaran dalam motif dan perasaannya sendiri.
·         Kemampuan untuk mengendalikan perilaku secara sadar.
·         Harga diri dan penerimaan yaitu penyesuaian diri sangat ditentukan oleh penilaian terhadp harga diri sendiri dan merasa diterima oleh orang sekitarnya, ia merasa nyaman bersama orang lain dan mampu beradaptasi dan mereaksi secara spontan dalam segala situasi sosial.
·         Kemampuan untuk membentuk ikatan kasih, individu yang normal dapat membentuk jalinan kasih yang erat serta mampu memuaskan orang lain dalam hal ini dia peka terhadap peasaan orang lain dan tidak menuntut yang berlebihn pada orng lain.
·         Produktifitas, individu yang baik adalah individu yang menyadari kemampuannya dan dapat diarahkan pada aktifitas produktif.
Sedangkan indikator kesehatan mental menurut Ahmad Farid yang menerapkan indikator kesehatan mental berdasarkan kepada agama adalah sebagai berikut:
·         Berfokus pada ahirat.
·         Tiada meninggalkan zikrullah
·         Selalu merindukan untuk beribadah kepada Allah swt.
·         Tujuan hidupnya hanya kepada Allah swt.
·         Khusyuk dan menegakkan solat.
·         Menghargai waktu dan tidak bahil harta.
·         Tidak berputus asa.
·         Mengutamakan kualitas perbuatan.
Zakiah Daradjat menetapkan indikator kesehatan mental dengan memasukkan unsur keimanan dan ketaqwaan. Menurutnya indikator kesehatan mental adalah sebagai berikut:
1. Terbebas dari gangguan penyakit jiwa.
2. Terwujudnya keserasian antara unsur-unsur kejiwaan.
3. Mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri secara fleksibel dan menciptakan hubungan yang bermanfaat dan menyenangkan antar individu.
4. Mempunyai kemampuan dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya serta memanfaatkannya untuk dirinya dan orang lain.
5. Beriman dan bertaqwa kepada Allah dan selalu berupaya merealisasikan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam sesudah al-Qur’an banyak pula menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan mental. Hadits yang berhubungan dengan kesehatan mental adakalanya yang berkaitan dengan indikator kesehatan mental dan adakalanya yang berkaitan dengan psikoterapi, dan yang berkaitan dengan kesehatan mental. Yang berkaitan dengan indikator kesehatan mental, diantaranya:
1.      Rasa aman.
2.      Qanaah dan ridha menerima apa yang telah ditentukan Allah SWT kepadanya.
3.      Syukur dan sabar.
4.      Rasa tanggung jawab.

2.5 Keabnormalan Mental
Menurut Zakiah Daradjat, keabnormalan mental adalah kumpulan dari keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun dengan psikis. Kebanormalan dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:
(1) gangguan mental (jiwa) (neurose)
(2) sakit mental (jiwa) (psychose)
Secara umum perbedaan neurose dan psychose dapat dilihat pada perasaan, fikiran, perilaku, dan personalitas penderita. Penderita neurose masih mampu merasakan kesukaran yang dihadapi sehingga perilaku dan kepribadiannya belum memperlihatkan kelainan yang serius, ia masih berada dalam kehidupan realitas. Sedangkan penderita psychose karena yang terkena pikirannya, kepribadiannya tampak tidak padu lagi, karena itulah dia sudah tidak mampu hidup dalam dunia nyata. Oleh karena itu gejala-gejala gangguan dan penyakit mental dapat dilihat dari perasaan, fikiran, tingkah laku, dan kesehatan badan seseorang.
Dalam perspektif Islam sehat atau tidaknya mental seseorang berpijak pada aspek spiritualitas keagamaan. Seberapa jauh keimanan seseorang yang tercermin dalam kehidupan keberagamaan dalam kesehariannya menjadi titik tolak penting dalam mentukan sehat atau tidaknya mental seseorang. Al Ghazali memandang bahwa kebnormalan mental identik dengan akhlak yang buruk, sedangkan akhlak yang buruk dinyatakan sebagai racun yang berbisa yang dapat membunuh, atau kotoran yang bisa menjauhkan seseorang dari Allah SWT. Disamping itu akhlak yang buruk juga termasuk kedalam langkah setan yang bisa menjerumuskan manusia masuk dalam perangkapnya.
Gangguan mental dalam Islam berkaitan dengan penyimpangan-penyimpangan sikap batin. Inilah yang menjadi dasar dan awal dari semua penderitaan batin. Gejala-gejala gangguan mental dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Hati yang menyimpang dari keikhlasan dan ketundukan kepada Allah sehingga menjadi lupa terhadap posisinya sebagai hamba Allah, wujudnya bisa dalam bentuk ria, hasad, ujub, takabur, tamak, dan sebagainya.
b. Perilaku yang terbiasa dengan pelanggaran ajaran agama disebabkan oleh dominannya peran nafs al-ammarah dalam kehidupan. Pada kondisi ini ada dua bentuk gangguan mental yaitu:
1. Kekuatan-kekuatan fitrah untuk mendengarkan dan melihat kebenaran, serta berpihak dan menyukai kebenaran tidak berfungsi lagi dengan baik. Hati orang seperti ini tertutup dari seruan kebenaran.
2. Memandang indah dan baik perbuatan-perbuatan dosa dan kesehatan sehingga tetap merasa nikmat untuk melakukannya.
Selanjutnya Al Ghazali menyatakan bahwa manusia yang mengalami gangguan mental berarti dia dalam keadaan sakit (terganggu mentalnya) kecuali manusia yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk tidak sakit mentalnya, seperti nabi dan rosul Allah. Orang yang terganggu mentalnya memiliki sifat-sifat seperti nifak, memperturutkan hawa nafsu, berlebih-lebihan dalam berbicara, marah, iri hati/dengki, cinta keduniaan, cinta harta, ria, takabbur, sombong, dan ghurur. Al-akhlaq al-mazmummah inilah yang dipandang sebagai gangguan mental karena akhlak tersebut dapat merusak ketenangan dan ketentraman mental (jiwa).
Adapun gangguan mental yang dijelaskan oleh (A. Scott, 1961) meliputi beberapa hal :
1. Salah dalam penyesuaian sosial, orang yang mengalami gangguan mental perilakunya bertentangan dengan kelompok dimana dia ada.
2. Ketidak bahagiaan secara subyektif.
3. Kegagalan beradaptasi dengan lingkungan.
4. Sebagian penderita gangguan mental menerima pengobatan psikiatris dirumah sakit.
Namun ada sebagian yang tidak mendapat pengobatan tersebut. Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi individunya juga harus melihat konteks sosialnya.
2.6 Pengaruh Agama Terhadap Kesehatan Mental
Telah banyak dilakukan penelitian yang berhubungan dengan agama dan kesehatan mental, seperti yang dilakukan Bergin (1983) yang melakukan metanalis pada hasil-hasil penelitian tentang agama dan kesehatan mental. Ia menyimpulkan bahwa jika religiusitas dikorelasikan dengan ukuran kesehatan mental, dari 30 efek yang ditemukan, hanya 7 orang atau 23% menunjukan hubungan negatif antara agama dan kesehatan mental. Secara singkat, Koenig (1999) dalam bukunya The Healing Power of Faith, menyatakan bahwa keluarga yang religious umumnya; punya keluarga yang lebih bahagia, punya gaya hidup yang lebih sehat, dapat mengatasi stress, terlindung dari penyakit kardiovaskular, punya sistem imun yang lebih kuat.
Sejumlah kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan dan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuwan beberapa abad yang lalu. misalnya, pernyataan Carel Gustav Jung “diantara pasien saya yang setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”. Prof Dr. Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir lebih jauh membahas hubungan antara agama dan kesehatan mental melalui pendekatan teori biokimia. menurutnya, di dalam tubuh manusia terdapat sembilan kelenjar hormon yang memproduksi persenyawaan-persenyawaan kimia yang mempunyai pengaruh biokimia tertentu, disalurkan lewat pembuluh darah dan selanjutnya memberi pengaruh kepada eksistensi dan berbagai kegiatan tubuh.
Lebih jauh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir berkesimpulan bahwa segala bentuk gejala emosi seperti bahagia, rasa dendam, rasa marah, takut, berani, pengecut yang ada dalam diri manusia adalah akibat dari pengaruh persenyawaan-persenyawaan kimia hormon, di samping persenyawaan lainnya. tetapi dalam kenyataannya, kehidupan akal dan emosi manusia senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, selalu terjadi perubahan-perubahan kecil produksi hormon-hormon yang merupakan unsur dasar dari keharmonisan kesadaran dan rasa hati manusia, tepatnya perasaannya.
Jika seseorang berada dalam keadaan normal, seimbang hormon dan kimiawinya, maka ia akan selalu berada dalam keadaan aman. Perubahan yang terjadi dalam kejiwaan itu disebut oleh Abd Al-Qadir sebagai spectrum hidup. Penemuan Muhammad mahmud Abd Al-Qadir seorang ulama dan ahli biokimia ini, setidak-tidaknya memberi bukti akan adanya hubungan antara keyakinan agama dengan kesehatan jiwa. Pengobatan penyakit batin melalui bantuan agama telah banyak dipraktikkan orang. Dengan adanya gerakan Christian Science, kenyataan sepeti itu diperkuat pengakuan ilmiah pula. Dalam gerakan ini dilakukan pengobatan pasien melalui kerja sama antara dokter, psikiater, dan ahli agama (pendeta). Di sini tampak nilai manfaat dari ilmu jiwa agama. Barangkali hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif. Maka, dalam kondisi yang serupa itu manusia berada dalam keadaan tenang dan normal, yang oleh Muhammad Mahmud Abd Al-Qadir, berada dalam keseimbangan persenyawaan kimia dan hormon tubuh. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kajadiannya, sehat jasmani, dan ruhani.
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tentram. Ketika agama sebagai keyakinan dihubungkan pada kesehatan jiwa terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan yang maha tinggi. Tindak ibadah dalam sebuah ritual agama akan memberi rasa bahwa hidup lebih bermakna dan manusia sebagai mahluk hidup yang memiliki kesatuan jasmani dan rohani secara tak terpisah memerlukan pengakuan yang dapat memuaskan keduanya.
Salah satu cabang ilmu jiwa, yang tergolong dalam psikologi humanistika dikenal logoterapi (logos berate makna dan juga ruhani). Logoterapi dilandasi falsafah hidup dan wawsan mengenai manusia yang mengakui adanya dimensi sosial pada kehidupan manusia. kemudian, logoterapi menitikberatkan pada pemahaman bahwa dambaan utama manusia yang asasi atau motif dasar manusia adalah hasrat untuk hidup bermakna. Diantara hasrat itu terungkap dalam keinginan manusia untuk memiliki kebebasan dalam menemukan makna hidup. Kebebasan seperti itu dilakukannya antara lain melalui karya-karya yang diciptakannya, hal-hal yang dialami dan dihayati (termasuk agama dan cinta kasih) atau dalam sikap atas keadaan dan penderitaan yang tak mungkin dielakkan. Adapun makna hidup adalah hal-hal yang memberikan nilai khusus bagi seseorang, yang bila dipenuhi akan menjadikan hidupnya berharga dan akhirnya akan menimbulkan penghayatan bahagia. Dalam logoterapi dikenal dua peringkat makna hidup, yaitu makna hidup pribadi dan makna hidup paripurna.
Maka hidup paripurna bersifat mutlak dam universal, serta dapat saja dijadikan landasan dan sumber makna hidup pribadi. Bagi mereka yang tidak atau kurang penghayatannya terhadap agama, mungkin saja pandangan falsafah atau ideologi tertentu dianggap memiliki nilai-nilai universal dan paripurna. Sedangkan bagi penganut agama, maka Tuhan merupakan sumber nilai Yang Maha Sempurna dengan agama sebagai perwujudan tuntutan-Nya. Di sinilah barangkali letak peranan agama dalam membina kesehatan mental, berdasarkan pendekatan logoterapi. Karena bagaimanapun, suatu ketika dalam kondisi yang berada dalam keadaan tanpa daya, manusia akan kehilangan pegangan dan bersikap pasrah. Dalam kondisi yang serupa ini ajaran agama paling tidak akan membangkitkan makna dalam hidupnya. Makna hidup pribadi menurut logoterapi hanya dapat dan harus ditemukan sendiri.
Kehilangan makna hidup menyebabkan manusia mencari jalan sendiri-sendiri. Bertualang tanpa arah, terus mencari, siapa dan apaun yang diduga mampu memberikan “obat” penawar kesepian batin pasti akan dihampiri. Mulai dari berlindung dibawah sosok manusia mistik, mencoba melabuhkan diri pada hidup yang penuh hura-hura, ataupun mengkonsumsi minuman keras. Disini, batin manusia modern bagaikan terkarantina oleh produk teknologi hasil karya mereka sendiri dan keadaan ini jelas sungguh ironis.
Sayangnya, agama dalam hal ini sering dipandang hanya sebagai anutan. Dianggap sebagai sesuatu yang datang dari luar dan asing. Padahal, potensinya sudah bersemi dalam batin sebagai fitrah manusia. Potensi yang diterlantarkan oleh keangkuhan egoisme manusia. Jalinan keharmonisan antara kebutuhan fisik dan mental spiritual terputus. Akibatnya manusia kehilangan kemampuan untuk mengenal dirinya bahkan menemukan makna hidupnya.  Padahal Sang Maha Pencipta sudah mewanti-wanti akan hal itu. Seuntai firman mengungkapkan hal itu: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.” (QS. 3:112). Di kala manusia melupakan Sang Maha Pencipta dan kehilangan God View-nya, kehidupan menjadi hampa. Ketentraman batin tersaput, dan hidup akan menjadi tak bermakna. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. 13:28).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Agama adalah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan sesuatu yang ghaib yang menguasai manusia, yang dengan karenanya manusia meyakini harus mematuhi kewajiban–kewajiban sehingga hal itu mempengaruhi pada tingkah atau perbuatan-perbuatan manusia sehari-hari.
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna yaitu bahagia di dunia dan di akhirat.
Agama sebagai keyakinan dapat membantu penderita penyakit mental untuk lebih cepat sembuh, dan sekaligus karena agama pula penyakit mental bisa dicegah.

3.2 Saran
Manusia yang berpegang pada suatu agama hendaknya mampu menjadikan keyakinannya bukan sekedar anutan akan tetapi mampu lebih menghayati dalam berskap dan bertigkah laku sehari-hari sehingga dapat menjadi tuntunan, arah yang baik pada keberlangsungan hidup yang secara langsung dapat menjaga kesehatan mental dan terhindar dari gangguan mental karena memegang satu keyakinan yang kukuh, yakni agama.

Sumber:
Nasrudin, Endin. 2009. Psikologi Agama. Bandung: Qutub Production
Mujib, Abdul & Mudzakir, Jusuf. 2001. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
 Jalaludin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 
 Jalaludin. 2003. Psikologi Agama “sebuah pengantar”. Bandung : Mizan Media Utama
Ramayulis. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam mulia